Sabtu, 21 November 2009

HIV/AID BUKA MATA DAN HATI

HIV/AIDS Buka Mata dan Hati



Siapa yang tak tersiksa dengan penyakit yang perlahan-lahan menggerogoti raga dan jiwanya? Tak hanya itu saja, penderitanya pun ternyata harus menanggung perlakuan yang tak adil dari berbagai kalangan masyarakat. Itulah yang selama ini dialami oleh para ODHA (orang dengan HIV/AIDS).


''Pasti tak ada yang mau terkena penyakit ini. Tapi, banyak pihak yang ikut menyudutkan kami, baik masyarakat, bahkan pihak tenaga kesehatan, termasuk para dokter,'' ujar Penny, menuturkan pengalaman yang menyakitkan hatinya pada beberapa bulan lalu.


Gadis berusia 20 tahun itu didiagnosis terkena HIV setahun lalu. Aktivis di sebuah yayasan AIDS itu mengatakan bahwa dirinya terkena virus yang melemahkan kekebalan tubuh itu akibat penyalahgunaan narkotika dengan alat suntik atau IDU (intravenous drug user).


Pengalaman itu terjadi ketika ia sakit gigi dan ingin memeriksakannya ke dokter. Ketika diperiksa, ia jujur mengatakan bahwa dirinya HIV Positif. ''Saya katakan kondisi saya kepada banyak kalangan justru supaya mencegah orang lain seperti saya. Sebenarnya ini dilema, kalau tak dikatakan, justru salah. Kalau ngaku, pasti dilecehkan,'' keluhnya.


Ketika mengetahui pasiennya HIV positif, dokter langsung menyarankan ke rumah sakit umum. Di sana, Penny diberikan lembaran kertas dengan 16 butir pertanyaan dan langsung ditangani empat orang dokter. Mereka bersepatu bot, sarung tangan, perlengkapan ember, taplak plastik, dan lain-lain untuk menangani pasien dengan sakit gigi. Saat itu, Penny menghabiskan dana Rp 1,5 juta.

Perlakuan tersebut dirasakan pula oleh rekan Penny. Dia demam hingga 42 derajat celsius dan badannya basah oleh keringat. Meski keluarganya bersedia membayar dua kali lipat dari tarif RS, tetap saja, selama dua hari ia tak mendapatkan RS yang bersedia merawatnya. ''Apa gunanya tenaga medis kalau begitu caranya,'' tegasnya.


Saat ini, perlakuan tak adil dan tak manusiawi masih banyak dialami oleh para ODHA. Masyarakat selalu menilai negatif keberadaan mereka. Menurut Penny, masyarakat selalu menghubungkan HIV/AIDS dengan masalah moral. Padahal, tak semua HIV/AIDS menular lewat hubungan seksual dan penyalahgunaan narkotika. Ada beberapa rekan Penny yang justru terkena penyakit ini karena transfusi darah.


''Kalau urusannya begini, siapa yang mau bertanggungjawab?. Pemerintah sudah menyediakan obat yang murah, itu sudah jadi penolong. Tapi, penolong sebenarnya adalah masyarakat. Kami harapkan, masyarakat membuka mata dan hatinya bahwa kami ada dan kami ini manusia,'' sergahnya lagi.


Soal stigma dan diskriminasi diakui salah satu pendiri Yayasan Pelita Ilmu sekaligus pakar hematologi, dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM mengakuinya. Itu terjadi, baik di tenaga kesehatan, media, politisi, dan lainnya. ''Makanya, perlu anggaran yang dialokasikan di daerah dalam memperhatikan masalah penanganannya. Masalah ini tak hanya jadi pemikiran para menteri, DPR, dan tim kesehatan, tapi juga semua kalangan,'' katanya.


Peristiwa yang dialami Penny dan rekannya merupakan sedikit gambaran dari diskriminasi dan stigma terhadap para ODHA. Hal ini malah menjadi hambatan dalam pemberantasan penularan HIV/AIDS. Pendapat itu mengemuka dalam diskusi tentang HIV/AIDS yang diadakan Badan PBB untuk AIDS (UNAIDS) memperingati Hari AIDS Sedunia, di Jakarta di awal bulan ini.


Menurut Samuel Nugraha dari Yayasan PITA positive after care (bergerak penanggulangan HIV/AIDS), hasil penelitian yayasan ini di tahun 2002 menyatakan, 31 persen pengidap HIV/AIDS ditolak atau mendapat diskriminasi untuk berobat di pusat pelayanan kesehatan.


Sebagian besar masyarakat memberikan stigma negatif bahwa ODHA tergolong pekerja seks komersial dan pengguna jarum suntik narkoba.
''Stigma dan diskriminasi membuat pengidap HIV/AIDS takut bergaul dan untuk berobat yang akhirnya menghalangi pemberantasan penularan HIV/AIDS di Indonesia,'' katanya yang melanjutkan pendapatnya ini dalam pembukaan AIDS Film Festival awal pekan lalu.


Sementara itu, Direktur Pusat Informasi PBB di Jakarta (UNIC), Abdullah Mbamba, mengharapkan, pemerintah dan LSM merumuskan kebijakan penangulangan HIV/AIDS dengan menghindarkan sikap diskriminasi dan stigma. Kebijakan ini, lanjutnya, diberlakukan di pemerintah tingkat provinsi, kabupaten dan kota di seluruh tanah air untuk membendung penyebaran penularan HIV/AIDS di kalangan pemuda.


Pencegahan diskriminasi juga diupayakan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Indonesia. Kata Direkturnya, Georg Petersen, WHO memberikan bantuan pelatihan pengobatan pengidap HIV/AIDS bagi petugas kesehatan dan LSM di Indonesia. Menurut Direktur Dana Kependudukan PBB (UNFPA) untuk Indonesia Bernard Coquelin, 30 persen (70 juta jiwa) penduduk Indonesia adalah anak muda dan usia produktif yang 86 persennya mengetahui HIV/AIDS dari teman dan 24 persen anak muda tidak tahu HIV/AIDS.


Karena itu, kata Coquelin, perlu peningkatan pemahaman HIV/AIDS bagi anak dan pemuda di Indonesia melalui pendidikan di sekolah, sehingga dapat dicegah penularan bagi mereka. Kajian UNAIDS dalam tingkat internasional, didapatkan data, sekitar satu juta orang di kawasan Asia Pasifik terinfeksi virus HIV/AIDS dalam tahun 2003. Ini membuat estimasi jumlah total infeksi HIV/AIDS mencapai 7,4 juta.


Jumlah tersebut terbesar kedua setelah wilayah Sahara Afrika, dari lebih 42 juta orang di belahan dunia kini hidup dengan HIV/AIDS, padahal belum ada satu pun obat yang dapat menyembuhkannya. HIV/AIDS di Indonesia Data Depkes menunjukkan, jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sejak 1987 - September 2003 yang tercatat di rumah sakit sebanyak 3.924 kasus. Sedangkan, estimasi Depkes, jumlah kasus HIV/AIDS yang tak tercatat mencapai 90.000 sampai 130.000 orang di Indonesia.


Penderita terbesar ada di enam provinsi, termasuk di Jakarta, Papua, Bali, Riau, dan Jatim. Zubairi mengatakan, data ODHA yang tak tercatat bisa melebihi yang ada saat ini. Pihaknya sendiri selalu menerima pasien baru hampir setiap hari per bulannya. Hanya saja, banyak salah penafsiran bahwa HIV/AIDS lebih banyak disebabkan dari hubungan seksual. ''Dari segi pencegahan, memang masalahnya lebih sulit pada seksual. Tapi, kita justru harus lebih banyak bekerja pada IDU. Dari kasus yang saya tangani, 70 sampai 80 persennya adalah dari IDU,'' ujar Zubairi.


Menurut Menkes Achmad Sujudi, ada tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Papua, dan Riau yang memiliki jumlah kasus HIV/AIDS rata-rata meningkat lima persen per tahun. Jajaran Depkes dan Pemda di tiga provinsi itu berupaya menurunkan kasus HIV/AIDS antara lain dengan program wajib menggunakan kondom bagi mereka yang berisiko tertular HIV/AIDS dan menjadi pelanggan atau pekerja seks komersial (PSK).


Program pencegahan melalui perilaku hidup sehat terus digaungkan. ''Program tersebut meliputi tak berhubungan seks berganti-ganti pasangan, tak menggunakan jarum suntik tak steril, dan menghindari konsumsi obat narkotika serta obat berbahaya lainnya (narkoba),'' katanya beberapa hari setelah peringatan Hari AIDS Sedunia.
Selain itu, pemerintah melaksanakan program pengobatan dengan obat murah dan perawatan bagi pengidap HIV/AIDS tanpa melakukan tindakan stigmatisasi dan diskriminasi, sehingga mendukung pemberantasan penularan HIV/AIDS.


Menko Kesra Jusuf Kalla dalam peringatan Hari AIDS di awal pekan lalu, mengharapkan masyarakat untuk tidak melakukan stigma dan diskriminasi terhadap penghidap HIV/AIDS. ''Mereka seharusnya diterima sebagai warga biasa sehingga memudahkan pengobatan, pelaporan, dan pemeriksaan mereka yang terkena penyakit itu,'' katanya saat itu.



ANUGRAH ILAHI
sumber : Republika Selasa, 16 Desember 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar